Kamis, 09 Juni 2011

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL

Jika tidak Sempat Baca online dapat didownload disini
A. Latar Belakang

Pada awal tahun dua ribu muncul arus perubahan paradigmatik, orientasi dan kebijakan pendidikan yang amat mendasar, yang kemudian melahirkan kebijakan pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill) dengan pendekatan pendidikan berbasis luas (broad based education). Secara teoritik perubahan paradigma, orientasi dan perspektif pendidikan kecakapan hidup ini bukanlah kebijakan yang dilandasi oleh pragmatisme sesaat, akan tetapi lebih merupakan upaya reinventing school – penemuan kembali jati diri sekolah yang mesti dilakukan di dunia pendidikan. Oleh karena itu Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2002 mulai mengimplementasikan pendidikan berorientasi kecakapan hidup pada semua jenis, jenjang dan satuan pendidikan baik di dalam dan luar sekolah, termasuk di SMA.

Program pendidikan kecakapan hidup yang dikembangkan di SMA mengacu pada dua dimensi, yaitu kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill) dan kecakapan hidup spesifik (specific life skill). Dimensi generik meliputi kesadaran diri, kecakapan berpikir dan bernalar, serta kecakapan bekerja sama. Semua kecakapan ini dapat dikembangkan pada berbagai mata pelajaran. Sedangkan dimensi spesifik, yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik terkait dengan konten akademik mata pelajaran tertentu, misalnya fisika, biologi, geografi dan lain-lain. Sedangkan kecakapan vokasional terkait dengan kejuruan tertentu, seperti tata boga, tata busana, grafika dan lain-lain. Untuk pelaksanaan program ini Direktorat Pembinaan SMA (Dikmanum, waktu itu) melalui Bagian Proyek BBE Life Skill selama tiga tahun (2002-2004) telah membantu sejumlah sekolah dengan dana block grant.

Sebagai pengembangan dan perluasan program kecakapan hidup, khususnya yang bersifat vokasional sekaligus peningkatan mutu SMA di wilayah pesisir dan pantai, pada tahun 2006 dirintis SMA Berbasis Keunggulan Lokal Kelautan (BKLK). Semula program ini didesain bahwa aktivitas pembelajaran di SMA rintisan tersebut berorientasi kelautan. Artinya bahan ajar yang disampaikan guru diambil bernuansa kelautan, misalnya materi pembelajaran biologi diambil topik-topik yang berkaitan dengan tumbuhan di daerah pesisir dan biota laut. Begitu pula mata pelajaran olahraga, yang dikembangkan adalah olahraga air dan pantai. Di samping itu terdapat pula program vokasional, seperti budi daya hasil laut, perikanan, rumput laut dan lain-lain. Namun implementasi di sekolah berbeda, yang terjadi adalah hampir seluruh kegiatan pada program BKLK berisi vokasional.

Belajar dari berbagai pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa program pemerintah dalam hal ini Direktorat Pembinaan SMA, dalam rangka mengakomodasi berbagai kebutuhan dan potensi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan di SMA ternyata tidak serta merta berjalan dengan baik. Seperti penyelenggaraan BBE- Life Skill dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Kelautan di sejumlah SMA belum memperoleh hasil yang optimal dan tidak berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena unsur pendidik dan tenaga kependidikan belum sepenuhnya memahami program tersebut. Di samping itu program yang dilaksanakan tersebut pembelajarannya bukan menjadi bagian dari struktur kurikulum. Oleh karena itu untuk pelaksanaan program Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan, baik perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri.

Kalau kita sadari bahwa proses belajar dapat terjadi pada setiap saat dan di segala tempat. Setiap orang, baik anak-anak maupun orang dewasa mengalami proses belajar lewat apa yang dijumpai atau apa yang dikerjakan. Secara alamiah setiap orang akan terus belajar melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Pendidikan sebagai suatu sistem, pada dasarnya merupakan bagian dari sistem proses perolehan pengalaman belajar tersebut. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik. Pengalaman belajar tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, sehingga siap digunakan untuk memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik diharapkan juga mengilhami mereka ketika menghadapi problema dalam kehidupan sesungguhnya (Senge, 2000).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB III pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Selanjutnya pada BAB X pasal 36 ayat (2) dinyatakan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan pada pasal yang sama ayat (3) butir c menyatakan bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Keterampilan/Kejuruan (butir i) dan muatan lokal
(butir j).

David P. Ausubel (Ausubel, 1978) dan Jerome S. Bruner (Bruner, 1977), mengatakan bahwa proses pembelajaran dalam pendidikan akan menjadi lebih menarik, memberi kegairahan pada semangat belajar peserta didik, jika peserta didik melihat kegunaan, manfaat, makna dari pembelajaran guna menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya saat ini bahkan di masa depan. Pembelajaran akan memberikan suasana yang menyenangkan (joyful learning) jika berkait dengan potensi, minat, hobi, bakat peserta didik dan penerimaan siswa bahwa apa yang dipelajarinya akan berguna bagi kehidupannya di masa depan (contextual) karena siswa merasa mendapatkan keterampilan yang berharga untuk menghadapi hidup.

Salah satu prinsip contextual teaching and learning (CTL) adalah prinsip saling ketergantungan (the principle of interdependence). Prinsip saling ketergantungan menyadarkan pendidik tentang saling ketergantungannya satu sama lain, kepada siswanya, kepada masyarakat di sekitarnya dan dengan bumi tempatnya berpijak (termasuk potensi lokal yang terkandung dalam bumi). Mereka berada dalam suatu jaringan saling ketergantungan yang menciptakan lingkungan belajar. Dalam suatu lingkungan belajar di mana setiap orang menyadari keterikatannya, maka pembelajaran kontekstual mudah berkembang (Johnson, 2002). Di samping itu bahkan pembahasan keunggulan lokal terkait dengan teori konstruktivisme. Kontruktivisme menurut Bettencourt (dalam Suparno, 1997) menyatakan bahwa kita tidak pernah mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Dalam konteks ini realitas yang ada di sekeliling siswa sehari-hari, misalnya yang berupa potensi daerah yang menjadi keunggulan lokal, akan membantu mempercepat siswa untuk mengkonstruksi pemikirannya menjadi suatu pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Potensi daerah atau keunggulan lokal adalah potensi yang kontekstual yang dapat diangkat sebagai bahan pembelajaran yang menarik di sekolah.

Teori tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada Bab III pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi/ karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Seanjutnya pada BAB IV pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Ketentuan tersebut sejalan dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang telah dikeluarkan sebelumnya yaitu tentang School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (pendidik, tenaga kependikan, kepala sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah (Fadjar, A. Malik dalam Ibtisam Abu-Duhou, 2002). MBS diterapkan bertujuan untuk membangun sekolah yang efektif sehingga pendidikan berguna bagi pribadi, bangsa dan Negara. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan harus memperhatikan potensi daerah yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan lokal.

Oleh karena itulah keunggulan lokal dapat dikembangkan di sekolah melalui Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal sebagaimana UU No. 20/2003 BAB XIV pasal 50 ayat (5) yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Selanjutnya PP 19/2005 BAB III pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Selanjutnya PP 19 Tahun 2005 pada penjelasan pasal 91 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka lebih mendorong penjaminan mutu ke arah pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah memberikan perhatian khusus pada penjaminan mutu satuan pendidikan tertentu yang berbasis keunggulan lokal.

Dengan demikian, berdasarkan pemikiran dan perundang-undangan tersebut di atas maka di SMA perlu dikembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL).

B. Landasan

1. UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Pusat dan Daerah.
2. UU RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
5. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah
6. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
7. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
8. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
9. Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permen 22 dan 23 tahun 2006
10. Permendiknas Nomor 6 thn 2007 tentang perubahan permen nomor 24 tahun 2006
11. Permendiknas nomor 12,13,16,18,tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan .
12. Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
13. Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana
14. Permendiknas Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan
15. Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses
16. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
17.Renstra Depdiknas tahun 2005 – 2009.
C. Tujuan

Pengembangan PBKL di SMA memiliki karakteristik berbeda dengan di SMK, sebab SMA lebih mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu secara umum tujuan program PBKL di SMA adalah memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pendidikan di sekolahnya dengan memasukkan kajian materi keunggulan lokal sesuai dengan kondisi dan potensi sekolah. Sedangkan secara khusus PBKL bertujuan agar peserta didik :

1. mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya daerah dimana siswa berada;
2. memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan mengenai lingkungan daerah yang berguna bagi dirinya, masyarakat dan negara;
3. memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerah, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya daerah dalam rangka menunjang pembangunan nasional;
4. berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan pemerintah daerah.

Bab II dan selanjutnya dapat didownload disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar